Menurut kronologi sejarah, gereja Protestan mulai bereksistensi pada peristiwa Reformasi abad ke-16. Sekalipun pada waktu itu Martin Luther ¾ dan juga kemudian John Calvin ¾ menentang ajaran gereja Katolik Roma, mereka tidak bermaksud mendirikan gereja yang baru. Tujuan dari Reformasi itu sendiri adalah untuk menyerukan sebuah amanat agar gereja kembali kepada dasar ajaran dan misi yang sesungguhnya; gereja disadarkan dan dibangunkan supaya berpaling pada raison d’etre dan vitalitasnya di bawah terang Injil.
Menurut ajaran gereja Katolik Roma pada zaman itu, gereja memiliki “gudang” penyimpanan anugerah berlimpah yang diperoleh dari orang-orang kudus yang perbuatan baiknya melampaui tuntutan kewajiban bagi keselamatan mereka. Itulah sebabnya bagi mereka yang kekurangan anugerah, gereja sebagai sumbernya dapat menyalurkannya. Dari konsep pemikiran tersebut, meluncurlah ajaran tentang “surat penghapusan siksa” (indulgences) yang dapat diperjualbelikan. Bahkan Paus Sixtus IV, pada ca. 1460 mendeklarasikan bahwa khasiat dari surat penghapusan itu dapat di-transfer-kan kepada orang Kristen yang jiwanya “tersangkut” dalam purgatori atau (tempat) api penyucian.
Karena itulah pada 31 Oktober 1517 Luther memakukan 95 tesis atau keberatan pada pintu sebuah gereja di Wittenberg. Ia mengajukan keberatan dan sekaligus protes yang isinya sebenarnya ditujukan terhadap penyimpangan ajaran dan korupsi gereja, khususnya dalam hal penjualan “surat penghapusan siksa” di mana seakan-akan pengampunan dosa itu sendiri dapat diperoleh secara kontribusional atau komersial.[1] Jadi, tujuan [p. 150] Luther yang sepolos-polosnya dan semurni-murninya adalah mengembalikan gereja pada esensi yang sesungguhnya dari iman Kristen. Protes yang ia ajukan itu sedikit demi sedikit menarik perhatian banyak kalangan.
Memang secara umum istilah “reformasi” menunjuk pada arti adanya suatu penyimpangan atau penyelewengan yang dienyahkan serta adanya suatu usaha penataan kembali terhadap hal-hal yang esensial. Singkatnya, terdapat koreksi dan perbaikan dari sebuah keadaan. Sebagai contoh, Raja Hizkia (2Raj. 18:1-18) jelas mengadakan suatu reformasi berupa pemberantasan terhadap penyimpangan di dalam ibadah, serta perpalingan kembali menyembah Yahweh. Demikian pula yang dilakukan oleh Raja Yosia (2Raj. 23:4-20); ia mengoreksi peribadatan bangsa Israel yang korup, sekaligus mengembalikan bangsanya pada penyembahan yang benar (ay. 21-23).
Dalam sejarah gereja, Reformasi (dengan huruf “r” besar) menunjuk pada pembaruan terhadap gereja melalui usaha yang tidak jauh berbeda dengan dua kejadian di atas. Gereja seolah-olah direvitalisasikan atau dihidupkan kembali supaya kembali pada sumber pemberi hidupnya, yaitu Allah dan firman-Nya. Jadi Reformasi terhadap gereja di abad 16 merupakan usaha pembaruan, bukan pemberontakan (It was a reform, not a revolt). Alasannya, kontinuitas terhadap sumber ajaran yang esensial itu tetap dipeliharakan. Kalaupun pada akhirnya berdiri gereja Protestan sebagai gereja yang baru, gereja itu sendiri sebenarnya adalah gereja yang lama dari zaman para rasul. Inti permasalahannya hanyalah gereja yang ada pada waktu itu (yakni gereja Katolik Roma) menolak usaha pengoreksian tersebut, bahkan menolak usaha pengembalian pada ajaran gereja yang rasuli. Hal ini juga berarti bahwa semua faktor (seperti kaitan sosial, politik, dan intelektual) yang menyertai peristiwa Reformasi abad 16 itu bukanlah faktor yang utama, karena asal-usul dan maksud Reformasi itu sendiri bersifat religius dan teologis.
Dengan demikian, kita dapat mengerti bahwa kelanjutan dari Reformasi yang dikerjakan oleh Calvin, Melanchthon, Zwingli, Bucer, Oecolampadius, Farel, Beza, Bullinger, Knox, Ursinus, Olevianus, dan lainnya, semuanya tidak jauh berbeda dari Luther bila ditinjau dari esensi pikiran dasarnya. Tulisan ini mencoba melihat teologi Reformasi dari segi hakikat/esensinya serta kaitan/relevansinya dengan iman Kristen pada masa kini. Oleh karena keterbatasan ruang, penulis lebih banyak memfokuskan penulisan pada pandangan John Calvin (1509-1564) tentang esensi Reformasi itu sendiri, karena di dalam pemikiran Calvin-lah kita dapat menemukan pemikiran dasar tentang teologi Reformasi dalam struktur yang lebih mendalam dan sistematis. [p. 151]
Calvin lebih dikenal sebagai juru sistematisir dari Reformasi yang dimulai oleh Luther. Meskipun ia adalah tokoh generasi kedua, ternyata ia sanggup memadukan doktrin dari Alkitab secara sistematis. Bila dilihat dari karyanya yang agung seperti Institutes of the Christian Religion,[2] komentari, dan karya-karya tulis lainnya, nampaknya tidak ada seorang Reformator pun baik sebelum atau sesudah Calvin yang sanggup melampaui karya-karyanya tersebut. Penulis sendiri merasa “iri” kepada kejeniusannya yang pada usia 27 tahun (yaitu tahun 1536) telah menghasilkan karya monumental (Institutio) untuk pertama kali.[3]
Mungkin ada sebagian orang mengira Calvin adalah seorang teolog yang aktivitasnya kebanyakan hanya di belakang meja tulis dan menjadi seorang scholar yang nongkrong di atas “menara gading.” Perkiraan seperti itu benar-benar keliru. Calvin pertama-tama adalah seorang gembala atau pendeta yang melayani di gereja. Di dalam pelayanan tersebut, ia berpikir dan menulis karya-karya teologinya selalu dari sudut pandang pembinaan untuk warga jemaat.[4] Ia sendiri mengatakan hal ini dengan jelas di dalam edisi perdana dari Institutio-nya bahwa karya tersebut ditujukan “terutama untuk masyarakat awam Prancis, di mana banyak di antara mereka yang lapar dan haus akan (pengenalan pada) Kristus. Buku ini sendiri boleh dikata merupakan bentuk pengajaran yang sederhana dan elementari.” Di dalam karya tersebut seakan-akan kita melihat catatan-catatan yang bersifat pastoral, pembinaan gereja, pendidikan agama Kristen di rumah dan gereja, bahan katekisasi, dan sejenisnya. Itu sebabnya tidak mengherankan jika gereja yang dilayani oleh Calvin di Geneva menjadi gereja model bagi gerakan Reformasi.
Sekarang, bila kita hendak meninjau ciri-ciri teologi Reformasi satu per satu, ini tentu merupakan sesuatu hal yang tidak mungkin. Dari satu sisi seseorang dapat mengembangkan ajaran tentang teosentrisitas Allah atau tentang kedaulatan Allah dalam teologi Reformasi. Dari sisi yang berbeda orang yang lain dapat menekankan tentang keajaiban kasih karunia (sola gratia), atau tentang satu-satunya iman yang ajaib (sola fide). Dari sisi yang lebih spesifik bisa saja orang yang lain lagi membicarakan tentang [p. 152] epistemologi dari teologi Reformasi, atau tentang keunikan manusia, tentang keselamatan, tentang covenant, predestinasi, kerajaan Allah, gereja, perjamuan kudus, kebudayaan, dan seterusnya. Apabila kesemuanya itu hendak dibahas atau ditinjau satu per satu tidaklah menjadi masalah. Hanya saja, apabila seseorang mau menelusuri teologi Reformasi secara konsisten, ia harus mengakui bahwa esensi atau “benang merah” dari Reformasi itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari ajaran atau prinsip yang berakar pada Alkitab (the Scriptural principle).[5]
Sebagai contoh, Calvin sendiri membahas tentang siapa Allah, siapa manusia dan kaitan di antara kedua tema itu. “True knowledge of man is unattainable without knowledge of the living God.”[6] Namun, Calvin senantiasa menimba ajaran-ajaran tersebut dari prinsip dasar Alkitab. Singkatnya, worldview dan lifeview-nya senantiasa memiliki referensi yang tepat di dalam Alkitab. Calvin sebagai gembala, pengkhotbah, ekseget dan teolog selalu tidak terlepas relasinya dengan Alkitab. “Holy Scripture contains a perfect doctrine, to which one can add nothing. . . .”[7] Dengan demikian, dari satu segi, Calvin boleh dikata pertama-tama adalah seorang biblical theologian, oleh karena ia memang betul-betul terlatih dan menguasai teknik-teknik eksegese yang berhubungan dengan penelitian sejarah dan tata bahasa Alkitab.
Melalui karya-karyanya, Calvin jelas menolak metode interpretasi dari teolog abad pertengahan yang cenderung mengalegorikan, merohanikan, dan mempolarisasikan Alkitab. Ia menegaskan bahwa penafsiran Alkitab yang benar harus kembali pada arti yang literal dari perkataan Alkitab dan sesuai konteks historisnya. Maksudnya, apa yang orang Kristen katakan tentang Allah haruslah sejauh yang Alkitab katakan tentang Allah. Oleh karena itu di dalam pikirannya setiap orang Kristen harus sampai pada pengakuan bahwa pengenalannya akan Allah memiliki batas dan di dalam pengenalan itu senantiasa terdapat suatu misteri. Batas dan misteri tersebut tidak dapat ditembus oleh pikiran manusia. Sebab itulah Calvin kerapkali mengutip kitab Ulangan 29:29 di dalam karyanya. [p. 153]
Penekanan pada prinsip bahwa Alkitab menjadi sumber satu-satunya tersebut membuat Calvin “tertawan” pada pikiran bahwa Alkitablah satu-satunya otoritas terakhir yang menentukan kepercayaan, tindakan, dan kehidupan Kristen. Pandangan tersebut barangkali terkesan naif, simplistis, dan tidak cocok bagi kalangan atau aliran modern tertentu dewasa ini. Bagi orang yang berteologi liberal, Alkitab tidaklah terlalu berbeda dengan kitab-kitab suci lainnya. Bagi orang yang berteologi neo-ortodoks, Alkitab tidak mungkin dijadikan otoritas satu-satunya karena Alkitab tidak identik dengan firman Allah. Kalaupun kedua kalangan tersebut mengatakan bahwa mereka menerima otoritas Alkitab, esensi dari pandangan tersebut berbeda dengan posisi Calvin.
Sedangkan bagi kalangan yang “gemar” berglosolalia, menikmati penglihatan, sampai kepada mereka yang senang bertumbangan dalam Roh, dibedah oleh Roh, muntah-muntah di dalam Roh, bahkan cekikikan dalam Roh, Alkitab menurut pandangan Calvin di atas hanyalah “pelengkap penderita” atau “catatan kaki” bagi usaha pelegitimasian atau pengesahan pengalaman mereka. Tidak heran kalau pada akhirnya Alkitab sebenarnya tidak atau kurang dihargai di kalangan tersebut.
Esensi teologi Reformasi, sekali lagi, terletak pada kesetiaan pada prinsip Alkitab tersebut. Menurut Calvin, Alkitab adalah sumber wahyu satu-satunya di dalam kekristenan, dan karena itu, message atau berita dari berita Injil hanya dapat diketemukan di dalam atau di balik teks Alkitab. Maksudnya, kebenaran apapun yang Allah ingin sampaikan kepada manusia (apalagi hal yang penting seperti keselamatan), hanya ditemukan arti yang sesungguhnya di dalam Alkitab. Karena itulah di dalam seluruh Institutio-nya ia menulis dengan dua tujuan yang jelas: pertama, memperjelas Alkitab pada seluruh bagiannya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa selama bertahun-tahun ia menulis komentari untuk setiap kitab dalam Alkitab (walaupun ternyata pada akhir hidupnya tidak semua kitab dalam Alkitab berhasil diselesaikan penafsirannya). Kedua, menyusun berita Alkitab secara sistematis dengan penjudulan yang tepat.[8] Hal ini tidak mengherankan, sebab Institutio bukanlah karya yang ia tujukan bagi para teolog atau guru besar di bidang penelitian iman Kristen, melainkan untuk pembaca Alkitab dan para pemula dalam iman Kristen.
Bersamaan dengan itu, perlu dimengerti bahwa bagi Calvin bukan hanya bagian tertentu saja dari Alkitab yang menjadi otoritas iman Kristen. Sebaliknya, Alkitab secara keseluruhan (tota Scriptura), yaitu kanon Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, adalah firman Allah yang utuh.[9] [p. 154] Sekalipun ia cenderung menggemari kitab Kejadian, Mazmur, Matius, Yohanes, Roma, dan 1 Korintus, ia justru terlihat mengupayakan pengajarannya secara menyeluruh dari Alkitab.[10] Meskipun Calvin adalah seorang ekseget Alkitab yang terkemuka dalam teologi Reformasi, ia menegaskan berulang-ulang: “Speak where the Scriptures speak; be silent where they are silent.”[11] Sungguh zaman sekarang ini banyak aliran yang telah bergeser terlalu jauh dari diktum di atas. Ada kalangan yang begitu berani menceritakan pengalamannya mondar-mandir ke sorga. Kalangan lain, yang sepertinya tidak ingin kalah dengan pengalaman tersebut, menceritakan tentang “darmawisata”-nya ke dalam neraka. Masih ada lagi yang tidak mau kalah menceritakan pengalaman yang hebat-hebat lainnya, yang intinya kebanyakan dari pengalaman di atas sudah atau berusaha melampaui apa yang ada di dalam Alkitab. Teologi Reformasi seakan-akan menegaskan proposisi ini: “Dengarlah, taatilah Alkitab, dan hindarkan spekulasi.” Dengan demikian prinsip tersebut menempatkan manusia di bawah kebenaran (mengaktualisasikan kebenaran), dan bukan manusia di atas kebenaran (mengakomodasikan kebenaran).[12] Karena Alkitab yang adalah firman Tuhan adalah kebenaran, maka Alkitab harus menjadi sumber satu-satunya di dalam pengajaran iman Kristen, dan satu-satunya patokan atau standar bagi doktrin Kristen.
Lebih lanjut, di dalam tafsirannya terhadap Injil Yohanes, Calvin menegaskan bahwa Kristus tidak dapat dikenal secara benar dengan cara apa pun kecuali melalui Alkitab. Maksudnya, bila seseorang menolak ajaran Alkitab sebagai ajaran yang berotoritas penuh, ia sebenarnya menolak Kristus. Apabila kita bertanya kepada Calvin, bagaimana seharusnya seseorang atau gereja membaca Alkitab, maka ia akan menjawab dengan tegas: kita harus membaca Alkitab secara kristologis dan kristosentris. “First then, we must hold that Christ cannot be properly known from anywhere but the Scriptures. And if that is so, it follows that the Scriptures should be read with the aim of finding Christ in them.”[13] Perhatikan bagaimana esensialnya keberadaan dan kepentingan Alkitab di mata Calvin; baginya Alkitab dan Kristus seakan-akan tidak dapat dipisahkan. [p.155]
Jadi dapat disimpulkan bahwa, bagi gereja Reformasi yang ada dan melayani di zaman modern ini, pengakuan dan disposisi dari Calvin tersebut haruslah tetap berlaku. Esensi pengajarannya adalah gereja tidak boleh mengabaikan, apalagi membuang, pengajaran Alkitab, karena Alkitab merupakan otoritas satu-satunya yang menentukan hidup matinya pengajaran gereja. Bukan hanya itu saja, Alkitab menentukan pengenalan gereja akan Juruselamat satu-satunya, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Maka, pada waktu seseorang menyimpang dari Alkitab, saat itu juga hidupnya menyimpang dari Kristus.
Pada bagian sebelumnya, kita telah melihat bahwa Calvin bukanlah seorang teolog yang berbicara “di atas angin,” melainkan ia pertama-tama adalah seorang gembala, pengkhotbah, pengajar yang sangat down to earth (realistis). Di sinilah kita melihat relevansi yang paling pertama dan utama bagi gereja Reformasi zaman modern, yaitu gereja harus menerapkan pendidikan dan pengajaran yang sederhana kepada para anggotanya persis seperti yang pernah dijalankan oleh Calvin sendiri, karena tradisi Reformasi yang paling menonjol adalah perhatian yang serius terhadap pendidikan Kristen bagi anggota jemaat.
Kebanyakan pihak setuju bahwa penginjilan dan usaha misionaris yang memenangkan banyak jiwa adalah usaha yang esensial; tetapi pendidikan dan pembinaan terhadap warga gereja adalah usaha yang tidak kalah pentingnya. Usaha tersebut tidak terbatas pada pengajaran di kelas katekisasi, sekolah minggu, kelas pembinaan khusus, melainkan lebih jauh lagi sampai menjangkau pembinaan di kampus, sekolah teologi, lembaga Kristen, bahkan yang lebih penting lagi, pembinaan melalui literatur Kristen.[14] Dengan demikian, Christian scholarship seperti yang pernah diupayakan oleh Abraham Kuyper, dapat merambah ke segala bidang. Gereja tidak boleh melupakan usaha besar yang pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh besar seperti J. H. Bavinck, Herman Dooyeweerd, D. H. Th. Vollenhoven, James Orr, J. Gresham Machen, C. Van Til, Pierre Marcel, [p. 156] dan yang lainnya, yang pernah mengabdikan diri serta memperkembangkan suatu pendekatan yang tetap setia kepada tradisi Reformasi di dalam berbagai bidang. Usaha besar seperti inilah yang perlu dihidupkan kembali pada zaman sekarang.
Bagi gereja di Asia pada umumnya, dan gereja di Indonesia khususnya, tampaknya penerapan terhadap pendidikan agama Kristen dan gerakan penghargaan terhadap Alkitab tidaklah terlalu sulit. Mengapa? Pertama-tama kita melihat bangsa Timur lebih mudah beradaptasi dengan hal-hal yang bersifat panutan dan tradisi. Orang Timur juga lebih mudah menyesuaikan diri dengan pola pengajaran yang bersifat patriarkhal dan seminal. Selain itu, kebanyakan gereja di Indonesia dimulai dan bertumbuh melalui pekerjaan misi dari Eropa yang menekankan tradisi Reformasi. Hanya saja pertanyaannya, apakah tradisi yang baik itu (yaitu penekanan pada pendidikan Kristen dan penghargaan terhadap Alkitab) tetap mendapatkan prioritas yang utama di dalam agenda pelayanan gereja? Pertanyaan mendasar ini perlu dijawab oleh gereja-gereja di Indonesia yang menerima landasan teologi Reformasi sebagai azas beriman dan azas bergerejanya.
Kedua, hal lain yang tidak kalah penting dengan di atas adalah bahwa, selain pendidikan Kristen, tradisi Reformasi juga menjunjung tinggi sentralitas pemberitaan firman Allah, baik untuk penginjilan, pengajaran, maupun aplikasi pastoral. Gereja di Asia dan Indonesia yang bertumbuh dengan benar dan baik pastilah merupakan gereja yang menghargai pemberitaan firman dengan pengupasan yang tepat tentang isi Alkitab. Sebaliknya, bila pemberitaan gereja hanya mengumandangkan ajaran-ajaran moral yang umum, ideologi-ideologi politis, atau terapi-terapi sosiologis, psikologis, dan seterusnya, dan tidak memberitakan ajaran Alkitab yang adalah frman Allah, maka gereja yang bersangkutan akan mengalami kemerosotan di dalam pemahaman yang benar dan tepat terhadap firman Allah.
Ketiga, teologi Reformasi yang sehat bukanlah hanya menekankan pemberitaan kerugma saja, melainkan juga memiliki penekanan yang benar tentang tanggung jawab sosial yang berdasarkan pada pengajaran Alkitab.[15] Calvin jelas pernah mengajarkan bahwa jabatan dan fungsi seorang diaken adalah untuk maksud seperti itu; yakni untuk menjadi administrator dan pelayan sosial. Memang benar bahwa menjadi seseorang yang setia kepada ajaran Reformasi haruslah menerapkan keyakinannya tersebut di dalam segala bidang kehidupan. Dengan perkataan lain, ketuhanan Kristus yang diajarkan dalam Alkitab [p. 157] harus bergema di dalam setiap aspek kehidupan, baik itu aspek sosial, ekonomi, politik, seni dan lainnya.[16] Boleh dikata keberadaan gereja Reformasi di dalam dunia adalah untuk berinteraksi dengan setiap aspek dari ciptaan Tuhan. Misinya yang utama adalah untuk mengubah dunia, yaitu agar dunia mengenal, menjalani hidup dan mempraktekkan kasih karunia Allah yang bekerja secara ajaib di dalam Yesus Kristus. Singkatnya, gereja Reformasi tidak hanya terpanggil untuk sekadar memiliki iman kepercayaan atau komitmen yang kuat, ia juga terpanggil untuk menaati dan melaksanakan misi Allah sesuai dengan ajaran Alkitab.
Dunia kita sekarang ini, dengan segala ajaran yang pluralis di dalamnya, nampaknya sedang mengalami kegoncangan karena manusia lebih cenderung menerima hal-hal yang bersifat relatif. Banyak orang Kristen dan gereja cenderung meninggalkan faham dan tradisi yang lama, yang kebanyakan dianggap bersifat anakronistis atau sudah ketinggalan zaman. Hal ini disebabkan oleh munculnya ideologi, isme dan keyakinan baru yang menyaingi kepercayaan yang lama. Lebih dari itu, kepercayaan yang baru seakan-akan lebih mengena dan pragmatis sifatnya di dalam memberikan jawaban untuk mengatasi kebingungan manusia modern. Bahkan banyak ajaran yang baru seolah-olah telah sanggup secara total mengatasi problema manusia di dalam hal dosa, sakit penyakit, dan memberikan arti kehidupan yang baru.
Pada saat seperti inilah dunia kekristenan memerlukan tuntunan dan pengarahan yang sesuai dengan ajaran Alkitab. Pengajaran dan pelayanan gereja yang berbobot sangatlah esensial serta menentukan sekali untuk memberi arah kepada manusia agar tidak dibingungkan oleh rupa-rupa angin pengajaran yang palsu. Oleh sebab itulah pandangan dari teologi Reformasi yang diterapkan menjadi program yang sistematis untuk pendidikan, pemberitaan firman, dan pengajaran melalui gereja adalah sesuatu yang integral dengan konsepsi dari Calvin sendiri tentang kehidupan Kristen yang benar. Mengabaikan hal ini berarti sama saja dengan melepaskan sebuah kesempatan yang tak ternilai untuk menggarami kehidupan jemaat di gereja dan umat manusia di dunia ini.
Notes
*Artikel ini pernah diterbitkan dalam buku Perjuangan Menantang Zaman (ed. Hendra G. Mulia; Jakarta: Reformed Institute, 2000) 3-16, dan dimuat dengan izin tertulis dari Reformed Institute Press pada tanggal 5 Juni 2001.
[1]Untuk melihat ringkasan sejarah Reformasi, lih. J. E. McGoldrick, “Three Principles of Protestantism,” Reformation & Revival Journal 1/1 (Winter 1992) 13-15; W. Stevenson, The Story of the Reformation (Richmond: John Knox, 1959) 29-49; H. J. Hillerbrand, The Protestant Reformation (NY: Harper Torchbooks, 1968) xi-xxvii. Mengenai Luther dan sejarah hidupnya, lih. H. A. Oberman, Luther: Man Between God and the Devil (New Haven: York University Press, 1982) 3-206; M. Brecht, Martin Luther: His Road to Reformation 1483-1521 (Minneapolis: Fortress, 1985).
[2]Calvin: Institutes of the Christian Religion (ed. J. T. McNeill; LCC; 2 vols.; Philadelphia: Westminster, 1960).
[3]Lih. pujian dan deskripsi terhadap Institutio oleh W. Cunningham, The Reformers and the Theology of the Reformation (Edinburgh: Banner of Truth, 1989) 294-296.
[4]Menurut J. L. Mays, ketika menuliskan tafsiran Mazmur pun, Calvin menuliskannya guna kepentingan jemaat Tuhan, bukan untuk para scholars (“Calvin’s Commentary on the Psalms: The Preface as Introduction” dalam John Calvin and the Church: A Prism of Reform [ed. T. George; Louisville: Westminster/John Knox, 1990] 197).
[5]Istilah ini diadopsi dari artikel F. H. Klooster, “The Uniqueness of Reformed Theology,” Calvin Theological Journal 14/1 (April 1979) 39; bdk. J. F. Peter, “The Place of Tradition in Reformed Theology,” Scottish Journal of Theology 18/3 (1965) 294-307. (Dalam beberapa segi pemikiran dasar untuk artikel ini penulis berhutang banyak pada kedua tulisan tersebut.) Perlu dicatat bahwa istilah “the Scriptural principle” di atas berbeda pengertiannya dengan K. Barth (“The Scripture Principle” dalam The Göttingen Dogmatics: Instruction in the Christian Religion [Grand Rapids: Eerdmans, 1991] I: 201-226).
[6]J. D. Gort, “The Contours of the Reformed Understanding of Christian Mission,” Calvin Theological Journal 15/1 (April 1980) 49.
[7]Dikutip dari J. H Leith, Introduction to the Reformed Tradition (Atlanta: John Knox, 1977) 101.
[8]Institutes 4, Intro. ix; bdk. pendapat R. C. Gamble, “Exposition and Method in Calvin,” Westminster Theological Journal 49 (1987) 153-165 (khususnya kesimpulan h. 164).
[9]Menurut D. H. Kelsey (The Uses of Scripture in Recent Theology [Philadelphia: Fortress, 1975]), hampir setiap teolog Protestan modern (seperti B. B. Warfield, K. Barth, R. Bultmann, P. Tillich) selalu ingin menyesuaikan teologinya dengan isi Alkitab dalam batas-batas tertentu; hanya saja menurut Kelsey masing-masing dari mereka hanya menampilkan aspek tertentu saja dari Alkitab yang dianggap berotoritas; jadi, bukan Alkitab secara menyeluruh.
[10]Leith, Introduction 103.
[11]Dikutip dari Klooster, “The Uniqueness” 39.
[12]Istilah dari H. Thielicke, The Evangelical Faith (Grand Rapids: Eerdmans, 1977) I:27.
[13]J. Calvin, The Gospel According to St. John 1-10 (repr. ed.; Grand Rapids: Eerdmans, 1961) 139 (yaitu tafsiran terhadap Yoh 5:39); lih. juga K. Runia, “The Hermeneutics of the Reformers,” Calvin Theological Journal 19/2 (November 1984) 144; dan W. Niesel, The Theology of Calvin (Philadelphia: Westminster, 1956) 27. Sama dengan hal itu, Calvin juga menegaskan bahwa Alkitab harus menjadi otoritas yang manunggal dengan kehidupan gereja. Dalam hal ini, bukan hanya bertalian dengan pemberitaan gereja semata-mata, melainkan juga bersangkutan dengan seluruh aspek kehidupan dan pelayanan gereja.
[14]Lih. juga penekanan yang mirip dengan di atas dari D. K. McKim, “Reformed Perspective on the Mission of the Church in Society,” Reformed World 38/8 (1985) 405-421; bdk. D. H. Bouma, “Sociological Implications for Reformed Christianity,” Reformed Review 2/2 (1966) 50-63; O. Fourie, “Thinking Biblically; Education: Whose Responsibility?,” Calvinism Today 3/1 (January 1993) 24-29; R. S. Wallace, Calvin, Geneva and the Reformation: A Study of Calvin as Social Reformer, Churchman, Pastor and Theologian (Grand Rapids: Baker, 1988) 131-218; E. H. Harbison, “Calvin” dalam The Christian Scholar in the Age of the Reformation (New York: Charles Scribner’s Sons, 1956) 145-146.
[15]Perh. himbauan dari K. Runia, “Evangelical Responsibility in A Secularized World,” Christianity Today 14/19 (1970) 851-854; bdk. P. F. Scotchmer, “Reformed Foundations for Social Concern,” Westminster Theological Journal 40/2 (1978) 318-349; W. J. Bouwsma, John Calvin: A Sixteenth Century Portrait (NY: Oxford University Press, 1988) 191-203, dan R. M. Kingdon, “Calvinism and Social Welfare,” Calvin Theological Journal 17/2 (November 1982) 212-230.
[16]Ketuhanan Kristus dalam gereja Reformasi bukan hanya menuntut gereja terus-menerus diperbarui secara internal (ecclesia reformata semper reformanda), melainkan juga memperbarui masyarakat dunia dan kebudayaan (semper societas reformanda); lih. J. Verkuyl, Theology of Transformation, or Towards a Political Theology (Johannesburg: The Christian Institute of Southern Africa, 1973) 2.