dc.description.abstract | Di dalam artikel ini, penulis akan berargumentasi bahwa pandangan Kristen dan Stoa tentang kebahagiaan memiliki kesamaan signifikan yang membedakannya dengan pandangan popular modern tentang kebahagiaan Sejalan dengan Stoisisme, kekristenan lebih menekankan sisi obyektif dari kebahagiaan sebagai sesuatu yang jauh dari sekadar feeling good namun lebih terkait dengan karakter manusia. Bagi keduanya, kebahagiaan lebih merupakan kondisi etis daripada psikologis manusia. Hal ini secara jelas bertentangan dengan konotasi modern dari kata kebahagiaan yang menekankan sisi subyektif psikologis seperti perasaan senang atau puas dari manusia. Di sisi lain, penulis akan berargumentasi bahwa prasuposisi utama yang menopang konsep kebahagiaan Stoisisme bertentangan dengan wawasan dunia Kristen. Sebagai akibatnya, perilaku dan emosi yang diidolakan oleh Stoisisme menjadi bertentangan dengan Alkitab, secara khusus sebagaimana diajarkan dan dihidupi oleh Tuhan Yesus saat di bumi. Artikel ini akan dimulai dengan deskripsi pandangan Stoa tentang kebahagiaan dan peran dari kebaikan-kebaikan eksternal di dalamnya. Tanpa meninggalkan yang lain, maka tokoh Stoa yang lebih banyak dirujuk dalam tulisan ini adalah Lucius Annaeus Seneca (4 BC – 65 AD) yang hidup sezaman dengan Yesus. Ajaran Seneca sendiri telah dihargai oleh tokoh-tokoh Kristen mula-mula seperti Tertulianus, Jerome dan Agustinus. Selanjutnya, perspektif Stoisisme tersebut akan dibandingkan dengan kekristenan, terutama Sabda Bahagia Yesus dalam Kotbah di Bukit (Matius 5) yang memuat konsep kebahagiaan (makarisme) Kristen. Akhirnya, penulis akan memberikan sebuah analisa persamaan dan perbedaan dari kedua pandangan di atas sambil menunjukkan implikasinya bagi spiritualitas Kristen. Mari kita mulai dengan pandangan Stoisisme tentang kebahagiaan. | en_US |