Tinjauan Alkitabiah terhadap Pandangan Egalitarian dan Komplementarian: Suatu Analisis Eksegetikal terhadap 1 Timotius 2:8-15.
Abstract
Di tengah-tengah kebangkitan peran wanita di dunia secara umum, bagi kekristenan, pertanyaan mengenai apakah wanita boleh mengajar dan memimpin di gereja, justru menjadi hal yang terus diperdebatkan oleh orang Kristen dari masa ke masa. Mengapa? Hal ini ternyata disebabkan oleh adanya beberapa tulisan Paulus yang menentang/membatasi pelayanan wanita. Namun di sisi lain, di sepanjang Alkitab dari PL hingga PB, justru ditemukan berbagai pelayanan yang dilakukan oleh para wanita. Jadi sesungguhnya apakah wanita boleh melayani dan memimpin di gereja?
Kaum injili pun terbagi menjadi dua kelompok menanggapi isu ini yaitu kelompok egalitarian dan komplementarian. Egalitarian adalah kelompok yang menekankan bahwa wanita sepenuhnya memiliki kesempatan yang sama dengan pria untuk melayani dan memimpin. Bagi mereka, Alkitab tidaklah membatasi peran wanita. Mengenai teks 1 Timotius 2:8-15, yang merupakan tulisan Paulus yang paling kontroversial mengenai isu wanita ini, menurut egalitarian, perintah ini ditujukan kepada jemaat Efesus waktu itu saja berkenaan dengan situasi yang sedang terjadi dalam jemaat sehingga teks ini tidaklah bersifat transkultural dan universal di segala waktu dan tempat. Namun bertentangan dengan egalitarian, bagi komplementarian, 1 Timotius 2:11-12 adalah perintah Paulus yang memang melarang wanita untuk mengajar dan memimpin atas pria dalam konteks bergereja. Alasannya, dalam perintah ini Paulus jelas mendasarkan perintahnya pada kisah penciptaan yang dicatat dalam 1 Timotius 2:13-14 dan oleh sebab ini pun, larangan Paulus ini bersifat transkultural, permanen, dan otoritatif untuk diterapkan oleh gereja di segala tempat dan sepanjang waktu.
Lalu apakah maksud sesungguhnya dari teks ini? Dari eksegesis teks ini, didapati bahwa nasihat Paulus ini memang sebenarnya ditujukan secara khusus kepada jemaat wanita Efesus waktu itu sesuai dengan latar belakang budaya dan tantangan yang mereka hadapi agar mereka bisa menjadi kesaksian hidup bagi komunitas sekitar. Dengan demikian, teks ini memang tidaklah tepat jika dipakai untuk membatasi peran wanita di gereja masa kini. Namun meskipun demikian, bukan berarti teks ini tidak lagi berlaku pada masa kini. Ada prinsip dasar dari teks ini yang masih bisa diterapkan zaman sekarang, tetapi sifatnya tidak transkultural dan universal di segala waktu dan tempat. Prinsip dasar itu adalah jika dalam kondisi tertentu pelayanan dan kepemimpinan wanita menjadi batu sandungan, maka hendaklah wanita memilih membatasi menggunakan haknya untuk melayani dan memimpin di gereja. Dengan demikian, diharapkan hidup mereka tetap menjadi berkat. Namun jika tidak terdapat kondisi demikian, maka teks ini tidak tepat dipakai untuk membatasi pelayanan dan kepemimpinan wanita di gereja.